Jakarta, GPriority.com – Desa Wisata Limbo Wolio yang terletak di Kelurahan Melai, Kecamatan Murhum, Kota Baubau, Sulawesi Tenggara memiliki tradisi unik kala berziarah ke makam para sultan Buton yang ada di dalam Benteng Keraton dan sekitarnya.
Tradisi yang disebut Santiago ini dilakukan sebagai bentuk upacara penghormatan jasa para petinggi kerajaan dan Kesultanan Buton dengan cara berziarah ke makam para Raja Sultan dan tokoh penting, yang dimulai dari bangunan cagar budaya Rumah Sultan ke-37 dan berakhir di makam Sultan Murhum. Sultan Muhrum sendiri merupakan Raja ke-VI sekaligus Sultan pertama Kesultanan Buton ketika pertama kali menjadi negara Islam di masanya.
Di era Kesultanan Buton, Santiago dilaksanakan pada tanggal 2 Syawal setelah sholat Isya hingga menjelang sholat subuh yang turut dimeriahkan oleh pejabat kesultanan dan masyarakat. Karena begitu ramai dan meriahnya kegiatan yang berlansung di hari ke-2 lebaran Idul Fitri, maka tradisi ini sering disebut dengan raraea malo, yang berarti berlebaran di malam hari.
Keadaan yang tidak memungkinkan di era pendudukan Jepang, membuat pemerintah Kesultanan Buton mengadakan Santiago di pagi hari tanggal 2 Syawal hingga sore menjelang malam Tradisi Santiago.
Pada tradisi Santiago, Sultan Buton beserta perangkatnya akan berjalan melewati rumah-rumah penduduk untuk pergi ke makam para Raja dan Sultan. Penduduk akan menyambut iring-iringan Sultan dengan menyiapkan makanan di depan rumah. Pemilik rumah akan menghadang rombongan Sultan dengan alunan syair kabanti agar mereka mampir mencicipi hidangan tersebut.
Sekarang, tradisi Santiago rutin digelar setiap tahun saat peringatan hari jadi Kota Baubau. Prosesi Santiago biasanya diikuti oleh para pemimpin Kota Baubau seperti wali kota, wakil walikota, ketua DPRD, dan perwakilan perangkat lainnya serta masyarakat.
Sedangkan pelaksanaannya dilakukan oleh iring-iringan berjumlah 11 regu, terdiri dari pasukan inti kesultanan Buton yang disebut kompanyia dan salawatu. Mereka akan berjalan mulai dari Kamali Kara Istana Sultan Hamidi menuju Masjid Agung Keraton Buton untuk menjemput Syarana Hukumu lalu ke makam para Sultan untuk ziarah kubur.
Kompanyia dilengkapi dengan tambur (tamburu), bendera (tombi), dan tombak. Mereka ikut mengawal salawatu, yakni perempuan muda berpakaian kombo dan membawa kabubusi atau air wangi jeruk dan bunga kamboja.
Salawatu akan dipayungi pau karatasi (payung kerajaan) yang dibawa oleh para kenipu (pemegang payung). Di dalam iring-iringan Santiago juga ada pejabat dan prajurit kesultanan, serta para moji (pengurus Masjid Agung keraton Buton) yang akan memimpin doa di Makam Sultan Murhum. Setelah moji membaca doa, selanjutnya dilakukan penyiraman makam Sultan oleh salawatu menggunakan kabubusi tadi.
Kompanyia akan memainkan tari galangi di depan kamali (istana Sultan), Masjid Agung Keraton Buton, Baruga, dan setiap makam Sultan sebagai bentuk penghormatan terhadap para Sultan yang telah wafat.
Selain melestarikan tradisi Santiago, Limbo Wolio sebagai Desa Wisata di Kawasan Benteng Keraton Buton memiliki bangunan bersejarah Benteng Wolio yang dinobatkan Guiness Book of World Record sebagai benteng terluas di dunia. (Vn)