Jakarta, GPriority.com– Alor merupakan daerah kabupaten di Nusa Tenggara Timur yang memiliki tradisi seni dan budaya khas dan masih dilestarikan oleh masyarakatnya hingga kini. Meskipun orang-orang tersebut telah jauh merantau ke seluruh penjuru tanah air, namun budaya tradisi warisan nenek moyang Alor masih terus dijaga.
Tradisi yang dimaksud di sini berupa tarian adat khas Alor, Nusa Tenggara Timur, yakni Tari Cakalele. Salah satu pelaku seni NTT, Eldat mengungkapkan bahwa Tari Cakalele adalah tarian adat warisan leluhur (nenek moyang) Alor kepada masyarakat Alor. Dimanapun mereka tinggal, Tari Cakalele akan terus dilestarikan.
“Tarian Cakalele ini adalah tarian leluhur yang dititipkan (kepada) anak cucu mau merantau kemanapun, mereka tetap pakai tarian adat itu,” ujar Eldat.
Masyarakat Alor juga memegang spirit persatuan yang terwujud dalam semboyan “Tara Miti Tomi Nuku” yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu hati. Semboyan ini menjadi semboyan pemersatu yang masih dipakai oleh putera-puteri Alor yang telah merantau ke seluruh daerah di tanah air.
Tari Cakalele merupakan tarian perang yang sangat syarat akan makna dan keunikannya. Menurut Eldat, dahulu Tari Cakalele digunakan dalam persiapan peperangan, yakni untuk memimpin orang yang berperang. Tarian ini digunakan sebagai cara untuk memancing musuh sehingga dapat diketahui titik atau posisi musuh saat itu, dengan adanya arah panah sebagai petunjuk.
Namun, karena saat ini tidak ada lagi peperangan, maka Tari Cakalele lebih sering digunakan untuk menyambut tamu kehormatan atau ditampilkan dalam pementasan-pementasan.
Keunikan tarian ini adalah orang yang akan menari Cakalele tidak memerlukan latihan terlebih dahulu. Menurut Eldat ketika seseorang sudah memakai pakaian adat untuk Tari Cakalele dan musik gamelan sudah berbunyi, maka penari dengan sendirinya akan langsung menari Cakalele.
Konon, penari Cakalale yang telah mengenakan pakaian adat, tubuhnya akan dirasuki dan digerakkan oleh roh leluhur sehingga mampu menari dengan sendirinya tanpa memerlukan latihan.
“Kalau bilang magic itu (penari) sudah dikuasai oleh leluhur. Jadi yang bergerak bukan mereka, tetapi ketika sudah pakai pakain adat, leluhur yang bergerak,” ujarnya.
Meski begitu, Eldat mengungkapkan bahwa tidak sembarang orang bisa menari Tarian Cakalele. Ada beberapa persyaratan yang harus dilakukan oleh penari, diantaranya berupa kesiapan mental, fisik, tenaga, serta keberanian.
Hal ini berkaitan dengan unsur magis Tari Cakalele, dimana ketika penari telah mengenakan pakaian adat dan musik telah berbunyi, maka penari Cakalele harus terus menari mengikuti irama sampai musik tersebut berhenti.
Selain itu, gerakan Tari Cakalele juga cukup berbahaya dan menggunakan properti berupa benda-benda tajam, seperti golok dan panah asli sehingga hanya orang-orang tertentu yang bisa melakukannya.
Keunikan lainnya dari Tari Cakalele, yaitu sebelum menarikan tarian ini, terkadang para penari harus melakukan persembahan kepada benda-benda pusaka dengan mengorbankan hewan, seperti kambing dengan cara dibakar. Eldat mengatakan hal ini dilakukan agar aroma bulu dari hewan yang dibakar bisa keluar membujuk benda-benda pusaka sehingga benda-benda pusaka juga ikut merasakan makanan tersebut.
“Kalau ritual tidak ada. Cuma kalau kita mau kasih bujuk pusaka, kadang kita harus korbankan hewan dulu, misalnya kambing, tapi harus dibakar agar wangi bulunya keluar,” ungkap Eldat
Kini Eldat mementaskan Tari Cakalele untuk memperkenalkan tarian tersebut kepada masyarakat sebagai keunikan budaya khas yang dimiliki Alor yang masih dilestarikan hingga sekarang.
“…kita bawa (Tari Cakalele) untuk pentaskan supaya orang tahu bahwa Alor punya keunikan budaya yang masih disimpan dan dipakai sampai saat ini, adalah Tarian Cakalele,” kata Eldat. (Vn)