Jakarta, GPriority.com – Novel Perempuan di Titik Nol (Women at Point Zero) adalah novel yang ditulis oleh Nawal el-Sadawi yang merupakan seorang novelis feminis asal Mesir. Novel ini diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Amir Sutaarga yang diterbitkan Yayasan Pustaka Obor Indonesia yang concern mengangkat karya-karya sastra dari negara berkembang, termasuk sastra Arab.
Novel yang berjumlah 176 halaman ini menceritakan tentang kisah nyata seorang tahanan wanita bernama Firdaus yang akan dihukum gantung karena telah membunuh seseorang. Kisah ini diangkat oleh Nawa el-Sadawi untuk menunjukkan kerasnya kehidupan di negara Arab yang masih kental dengan paham patriarki.
Sinopsis Novel Perempuan di Titik Nol
Diceritakan seorang perempuan asal Arab yang bernama Firdaus. Ia adalah anak yang lahir dari keluarga petani miskin. Firdaus kerap digambarkan sebagai anak yang rajin dan cerdas dalam cerita. Ia rajin membantu orang tuanya di ladang.
Meski demikian, Firdaus kecil ternyata sudah menjadi korban pelecehan seksual oleh teman sebayanya yang bernama Muhammadin. Ia menerima perilaku tak pantas selama ia membantu di ladang tanpa sepengetahuan orang tuanya. Tak sampai disitu, dilingkup keluarganya ia tetap tidak mendapat keadilan sebagai seorang anak. Pusat dari keluarganya hanya tertuju pada ayahnya, seperti tentang makanan yang diprioritaskan terlebih dahulu adalah ayahnya.
Setelah kedua orang tuanya meninggal, Firdaus diasuh oleh pamannya yang tinggal di Kairo. Kehidupannya di Kairo tidak beda jauh dari sebelumnya, ia kerap kali menerima perilaku asusila dari pamannya sendiri. Sikap pamannya itu dianggap tidak seberapa oleh Firdaus, sebab ia merasa pengorbanan pamannya lebih besar untuk menghidupinya dibandingkan dengan tingkah bejatnya. Memang nyatanya Firdaus di sekolahkan hingga tingkat menengah atas, hal ini yang membuatnya merasa demikian.
Setelah Firdaus lulus, paman dan istrinya merasa tidak sanggup menghidupi Firdaus hingga istrinya merencanakan perkawinan Firdaus pada pria tua kaya yang memiliki koreng bernanah di wajahnya. Firdaus terpaksa menerimanya dan tidak mampu menolaknya. Ketika hidup bersama suaminya, ia pun turut mengalami kekerasan yang ia terima dari suaminya. Ia akan dipukul bila tidak patuh dan mendapatkan tatapan intimidasi dari suaminya. Hingga pada suatu hari Firdaus sudah tidak sanggup dan memutuskan untuk pergi dari rumah.
Dari sinilah awal Firdaus berjuang untuk mencari kebebasan dan jati dirinya selama ini. Dengan bermodalkan ijazah sekolah menengah atas, ia nekat mencari pekerjaan apa saja asal dapat menerimanya. Hingga akhirnya ia bertemu seorang germo yang menjadikannya seorang pekerja seks komersial (pelacur).
Firdaus tidak merasa keberatan akan hal itu, sebab ia merasa sebenernya hal ini telah ia rasakan sedari kecil. Sejak awal jadi pelacur, Firdaus diajarkan oleh Shafira untuk tidak mencampurkan urusan pekerjaan dengan perasaan (cinta). Perjalanan hidupnya tidak terhenti hanya dengan satu germo, ia berkali-kali ganti germo dan terus melayani lelaki dengan tujuan mendapatkan uang.
Pengalamannya menjadi seorang palacur membawanya hingga menjadi pelacur termahal di Kairo. Ia tidak melayani pria biasa, seringkali pelanggannya adalah politisi negara. Bayaran akan dirinya pun tidak murah, itu adalah penawaran yang ditetapkan sendiri oleh Firdaus. Hingga ia bertemu dengan pria bernama Ibrahim dan mulai merasakan jatuh cinta. Perasaan ini membuat Firdaus memiliki kekuatan dan hal baru yang selama ini hampir hilang. Namun hal itu tidak berjalan dengan baik, Firdaus ditinggal nikah oleh Ibrahim. Ibrahim bertunangan dengan anak gadis presiden direktur perusahaannya. Lantas hal itu membuatnya hancur dan tidak percaya pada laki-laki.
Singkat cerita dari kejadian itu, Firdaus bertemu dengan germo yang mengancam keselamatannya namun justru berbalik. Nyawa germo tersebut habis di tangan Firdaus. Inilah yang membuatnya mendapat hukuman gantung.
Lantas apakah dasar pembunuhan yang dilakukan oleh Firdaus? Bagaimana ia menyikapi tindakannya itu? Baca keseluruhan cerita ketimpangan gender pada novel Perempuan di Titik Nol karya Nawal el-Sadawi. (Gs)