Jakarta, GPriority.com – Aborsi adalah praktik menghentikan kehamilan dengan jalan menghancurkan janin dalam kandungan. Tidak sedikit wanita yang akhirnya memutuskan untuk mengakhiri masa kehamilan dengan jalan aborsi karena berbagai alasan. Praktik ini memang masih menuai pro dan kontra.
Di Indonesia, aborsi tidak diizinkan kecuali karena alasan medis yang mengancam nyawa ibu atau janin, dan bagi korban pemerkosaan. Sekalipun diizinkan dengan alasan-alasan tertentu, aborsi harus dilakukan dengan prosedur medis yang benar dan berdasarkan rekomendasi atau ditangani oleh tenaga ahlinya.
Hal ini karena aborsi bisa memiliki efek yang berbahaya, bahkan bisa lebih berbahaya dari melahirkan. Menggugurkan kandungan lewat jalur medis resmi ataupun tidak resmi, selalu ada potensi risiko komplikasi dari efek aborsi.
Pada kondisi tertentu, tindakan aborsi dapat menimbulkan masalah kesehatan serius dalam waktu beberapa hari, beberapa minggu, bulan hingga tahunan setelahnya. Beberapa dampak aborsi bagi kesehatan wanita adalah:
Pendarahan Berat di Vagina
Pendarahan hebat melalui vagina adalah sesuatu yang umum terjadi sebagai dampak aborsi yang serius. Biasanya, disertai dengan demam tinggi dan gumpalan jaringan janin dari rahim. Perdarahan bisa terjadi selama 2-12 jam.
Aborsi pada kehamilan di bawah 13 minggu memiliki risiko pendarahan yang lebih kecil dibandingkan kehamilan yang usianya sudah di atas 20 minggu. Pendarahan berat juga lebih berisiko terjadi jika masih ada jaringan janin atau ari-ari yang tertinggal di dalam rahim setelah aborsi.
Baik aborsi spontan, medis, maupun illegal sama-sama bisa menyebabkan pendarahan hebat. Jika kondisi ini tidak segera ditangani, maka resiko kehilangan nyawa bisa saja terjadi.
Infeksi
Infeksi menjadi salah satu dampak umum aborsi yang dapat berlangsung selama 3 hari atau lebih. Infeksi terjadi akibat leher rahim yang dipaksa melebar. Pelebaran tersebut memicu bakteri dari luar masuk ke dalam tubuh dengan mudah. Infeksi biasanya terjadi pada rahim, saluran tuba, dan panggul.
Tanda-tanda infeksi setelah aborsi meliputi gejala yang timbul mirip penyakit pada umumnya, seperti sakit kepala, nyeri otot, pusing, atau sensasi “tidak enak badan”. Demam tinggi (di atas 38 derajat) adalah contoh lain gejala infeksi setelah aborsi, tapi tidak jarang juga kasus infeksi yang tidak disertai demam.
Infeksi terjadi pada 1 dari setiap 10 kasus. Dalam studi meta-analisis terbitan jurnal Lancet yang mengamati 1.182 kasus aborsi medis di bawah pengawasan ketat tim dokter rumah sakit, 27 persen pasien mengalami infeksi yang berlangsung selama 3 hari atau lebih sebagai efek aborsi.
Sepsis
Sepsis adalah kondisi lanjutan dari infeksi. Kondisi ini terjadi saat infeksi bakteri masuk ke dalam aliran darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Saat kondisi semakin parah, tekanan darah dalam tubuh akan menurun drastis dan memicu syok sepsis. Syok sepsis harus ditangani medis segera.
Ada dua faktor utama yang berperan penting terhadap peningkatan risiko sepsis dan syok sepsis setelah aborsi, yakni karena aborsi yang tidak sempurna (potongan jaringan sisa kehamilan masih terperangkap dalam tubuh setelah aborsi) dan infeksi bakteri pada rahim selama aborsi (baik lewat pembedahan maupun dengan cara mandiri).
Ciri-ciri seseorang mengalami sepsis adalah:
Suhu tubuh sangat tinggi (di atas 38ºC) atau sangat rendah, perdarahan berat, nyeri parah, lengan dan kaki pucat, juga terasa dingin, sensasi linglung, kebingungan, gelisah, atau letih gemetar menggigil, tekanan darah rendah, terutama saat berdiri, ketidakmampuan untuk buang air kecil, jantung berdebar cepat dan keras; palpitasi jantung, dan sulit bernapas (bernapas dangkal dengan sesak napas)
Kerusakan Rahim
Kerusakan rahim meliputi kerusakan leher rahim, adanya lubang pada rahim, dan luka robekan pada rahim. Sejumlah kondisi tersebut biasanya tidak terdiagnosis dan baru akan terlihat baru akan terlihat ketika melakukan pemeriksaan visualisasi laparoskopi.
Kerusakan rahim terjadi pada sekitar 250 dari seribu kasus aborsi lewat pembedahan dan 1 di antara seribu pada kasus aborsi obat (resep dan nonresep) yang dilakukan pada usia kehamilan 12-24 minggu.
Infeksi Peradangan Panggul
Infeksi peradangan panggul (PID) dapat meningkatkan risiko kehamilan ektopik dan mengurangi kesuburan perempuan di kemudian hari. Sekitar 5% perempuan yang tidak terinfeksi oleh infeksi lain sebelum kehamilan dan selama aborsi dapat mengembangkan PID dalam waktu 4 minggu setelah aborsi pada trimester pertama.
Risiko PID meningkat pada kasus aborsi spontan karena adanya peluang untuk jaringan kehamilan terperangkap dalam rahim serta risiko perdarahan hebat.
Endometritis
Endometritis adalah kondisi peradangan pada lapisan rahim, dan biasanya karena infeksi. Endometritis adalah risiko efek aborsi yang mungkin terjadi pada semua, namun lebih seringnya terjadi pada remaja. Remaja perempuan dilaporkan 2,5 kali lebih mungkin untuk mengalami endometritis setelah aborsi dibandingkan wanita usia 20-29.
Endometritis ditandai dengan peradangan pada lapisan rahim akibat infeksi. Infeksi yang tidak diobati dapat menyebabkan komplikasi pada organ reproduksi, masalah kesuburan, dan masalah kesehatan umum lainnya.
Kanker Serviks
Berdasarkan penelitian, perempuan yang pernah menjalani aborsi meski hanya sekali, menghadapi risiko 2,3 kali lebih tinggi terkena kanker serviks daripada perempuan yang tidak pernah aborsi. Sementara perempuan yang pernah dua kali atau lebih menjalani aborsi lebih besar lagi peningkatan risikonya, yakni hingga 4,92 kali.
Hal yang berbanding terbalik dengan mitos masyarakat yang meyakini resiko kanker payudara setelah aborsi. Menurut para ahli medis, hal ini tidak benar.
Masalah Psikologis
Masalah psikologis berupa trauma juga merupakan dampak aborsi yang sering dialami beberapa wanita. Perasaan bersalah, malu, stres, cemas, hingga depresi merupakan masalah psikologis yang banyak dialami oleh wanita setelah menjalani aborsi.
Masalah psikologis lebih besar dialami oleh perempuan yang melakukan aborsi secara ilegal. Oleh sebab itu, disarankan untuk melakukan pemeriksaan medis dan pertimbangan dari dokter, saat hendak menjalani aborsi, agar risiko komplikasi dapat dicegah.
Apapun itu, keputusan untuk melakukan aborsi harus dipikirkan matang-matang. Sebab, dengan cara medis maupun non medis, aborsi memiliki potensi resiko yang besar. Untuk mengantisipasi dampak berbahaya bagi kesehatan, sebaiknya berkonsultasi terlebih dahulu dengan dokter. (Vn)