Profil Haji Mencong,Jawara Tangerang yang Namanya Diabadikan Sebagai Nama jalan

Ciledug,GPriority.com-Bagi Anda yang sering melintas di daerah Ciledug, Larangan dan sekitarnya pasti tahu nama jalan Haji Mencong.

Letaknya berada di Joglo, Kreo, dan Ciledug arah pinggir selatan Jakarta. Jadi kalau Anda melintas di daerah tersebut sudah pasti akan menemukan jalan Haji Mencong.

Lantas siapakah Haji Mencong? Dilansir dari laman resmi dinas pariwisata dan budaya Kota Tangerang beberapa waktu yang lalu, Haji Mencong adalah seorang jawara yang punya tanah luas.

Karena saking luas lahannya, ketika lahannya berkembang menjadi permukiman maka untuk mengenangnya ruas jalan yang melewati bidang tanah itu diberi sebutan sesuai namanya.

Keturunnya yang ketiga kini masih tinggal di sana. Berbeda dengan sang engkong, lahan mereka sudah sangat menyempit akibat dijual untuk berbagai keperluan, salah satunya ya naik haji.

Bagi orang Betawi tanah dan haji selalu punya hubungan yang erat. Semua sudah mahfum, suku yang merupakan ‘warga asli’ ibu kota ini bisa dibilang penganut Islam yang taat. Sikap istiqamah ini dulu pernah dipuji ulama besar Buya Hamka dengan menyebut sebagai suku yang sangat kokoh memegang. Menurut Hamka meski hidup susah, miskin, dan tinggal di perumahan sederhana dapat dipastikan mereka semuanya beragama Islam. Kalau pun ada yang klaim bahwa ada juga warga Betawi yang non muslim, itu adalah pernyataan dari orang yang melihat kaum pendatang yang datang ke Betawi pada kurun belakangan, yakni di awal abad ke 20. Data menyatakan meski ratusan tahun hidup di bawah ‘sepatu kolonial’, ternyata hanya beberapa gelintir orang Betawi yang mengganti agamanya.

Kekentalan ‘warna budaya’ Betawi dengan ajaran Islam juga dibenarkan ‘Dai Sejuta Umat, KH Zainuddin MZ. ”Mungkin mereka tak taat betul, misalnya shalatnya bolong-bolong, tapi kalau soal agamanya dilecehkan, maka orang Betawi akan langsung bangkit tak terima. Nyawa dijadikan taruhannya,” begitu kata Zainuddin yang anak asli Betawai asal kampung Gandaria itu.

Lalau bagaimana soal hubungan orang Betawi, haji, dan tanahnya? Situasi segitiga ini memang unik. Mendiang Gus Dur dulu pernah berseloroh bila kenaikkan calon jamaah haji asal Betawi itu berbalik lurus dengan banyaknya penggusuran. Ini masuk akal sebab semenjak kota Jakarta mulai menggeliat dari ‘Kampung Besar’ menjadi kota metropolitan pada akhir 50-an, pada saat itu mulai banyak penggusuran. Proyek penggusuran pascakemerdekaan di Jakarta dimulai ketika terjadi pembangunan kawasan Jl Jendral Sudirman, MH Thamrin hingga kawasan Senayan. Di sana ada pembangunan pusat perbelanjaan Sarinah, Jembatan Semanggi, hingga kompleks olah raga, gedung parlemen , staudio TVRI, Stadion Utama Senayan (kini Gelora Bung Karno), hingga pembuatan Jl Gatot Subroto.

Nah, sebagai akibat menggeliatnya pembangunan kota Jakarta, perubahan sosial dikalangan warga Betawi semakin kencang terjadi. Tiba-tiba banyak orang Betawi memindahkan tempat tinggalnya karena lahannya terkena proyek pembangunan. Dan, bila ada sisa sedikit uang dari hasil ganti rugi tanah, maka salah satu cara menghabiskannya adalah mereka pakai untuk naik haji. Akibatnya, jumlah orang Betawi yang memang dari dulu sudah gemar mengenakan peci putih, semenjak peristiwa itu semakin banyak memakai peci tersebut. Tapi kini peci putihnya itu merupakan ‘inagurasi’ bahwa mereka sudah menunaikan rukun Islam kelima.

Situasi seperti itu terus meningkat seiring datangnya masa kepemimpinan Gubernur Ali Sadikin dan hadirnya masa Orde Baru yang membuat program ‘pemoderenan’ Jakarta. Pabrik dan kompleks industri bermunculan. Lahan diperjualbelikan secara bebas. Uang hasil jual beli atau akibat ‘gusuran tanah’ berhamburan di kalangan orang Betawi yang saat itu masih punya lahan yang luas. Bukan hanya itu, naik haji semakin mudah seiring mulai dipakainya pesawat terbang untuk mengangkut jamaah haji. Berbarengan dengan ini, harga tanah tiba-tiba melonjak drastis. Orang-orang Betawi benar-benar menikmati ‘booming harga’ tanah.

Maka dapat ditengarai ketika sekarang muncul berbagai nama jalan dan lorong gang di Jakarta yang menggunakan sebuah nama bergelar haji, maka mereka itulah yang dahulu memanfaatkan rejeki kenaikan harga tanah di Jakarta dengan pergi ke tanah suci. Haji Mencong bisa jadi adalah salah satunya. Dan di kalangan kampung Betawi lain yang tinggal di kawasan Kuningan pun sudah semenjak dulu muncul sebutan ‘Haji Mansur’ untuk menyebut mereka yang pergi haji karena ‘halaman (rumah) tergusur!’.(Hs.Foto.dok.pribadi)