Pandangan Islam Terhadap Konsumsi Cicak Untuk Obat

Jakarta, GPriority.com – Hewan cicak belakangan menjadi populer lantaran hewan ini mampu menjadi komoditas ekspor yang bernilai ratusan juta rupiah.

Sekedar informasi Cicak kering sudah lama dikonsumsi oleh masyarakat Cina sebagai obat herbal yang mampu menyembuhkan berbagai penyakit seperti asma, wasir, dan mengatasi penyakit kulit. Mengenai obat herbal dan pengobatan alternatif, Islam menganjurkan setiap manusia yang sedang sakit untuk berobat. Karena berobat merupakan bagian dari usaha dan usaha adalah ibadah.

Meski begitu, Rasulullah SAW melarang pengobatan dari sesuatu yang haram.Rasulullah SAW berpesan: “Sesungguhnya Allah telah menurunkan penyakit sekaligus obat, dan telah menciptakan obat bagi setiap penyakit, maka berobatlah dan jangan berobat dengan yang haram.” (HR. Abu Daud)

Dalam kaitannya dengan mengonsumsi cicak yang umumnya dimaksudkan untuk pengobatan tradisional, para ulama memiliki pendapat yang berbeda mengenai status hukum dari hewan cicak itu sendiri apabila dikonsumsi.Kaidah fiqhiyyah, status hukum mengonsumsi cicak, kadal, tokek dan hewan sejenisnya termasuk masalah khilafiyah.

Ada yang menghalalkan dan ada pula yang mengharamkannya. Bagi yang menghalalkannya, mereka berpendapat bahwa segala sesuatu yang diharamkan oleh Allah SWT dan Rasulullah SAW sudah dijelaskan di dalam Al-Quran maupun Al-Hadits.Dalam QS. Al-Baqarah: 173 telah menyebutkan daging-daging yang apabila dikonsumsi hukumnya adalah haram,

Allah SWT berfirman, yang artinya:“Sesungguhnya Dia hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih dengan (menyebut nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa terpaksa (memakannya), bukan karena menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS: Al-Baqarah:173)

Selebihnya dari itu masuk dalam pengertian bahwa semua yang diciptakan Allah adalah untuk kepentingan dan kemanfaatan manusia. Perhatikanlah firman Allah yang artinya: “Dialah (Allah) yang menciptakan segala apa yang ada di bumi untukmu kemudian Dia menuju ke langit, lalu Dia menyempurnakannya menjadi tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. (Q.S. Al-Baqarah: 29).

Dalam dua ayat tersebut dijelaskan makanan yang masuk kategori haram, yaitu bangkai, darah yang mengalir, daging babi, serta daging hewan yang disembelih bukan atas nama Allah. Selain itu, kategori makanan yang membahayakan, memabukkan, mengandung najis, dianggap jorok atau menyelisihi tabi’at yang salimah, dan mendapatkannya dengan jalan yang tidak dibenarkan oleh syari’at juga termasuk haram dikonsumsi menurut para ulama.

Namun demikian, daging cicak tidak tercantum dalam ayat-ayat tersebut. Menurut sebagian ulama, sepanjang tidak ada dalil yang melarang, maka hukumnya boleh atau halal. Maka pada dasarnya, cecak termasuk binatang yang keharamannya tidak dinyatakan dengan jelas secara eksplisit di dalam Al-Quran maupun Al-Hadits.

Dalam hadits seperti yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata, “Rasulullah saw melarang memakan setiap binatang buas yang bertaring, dan setiap jenis burung yang mempunyai kuku untuk mencengkeram.” (HR. Muslim no. 1934)Karena tidak ada dalil yang jelas, tentang cicak, maka menurut para ulama, jika dilakukan untuk kebutuhan yang mendesak, seperti mengobati penyakit berbahaya, maka hukumnya diperbolehkan.

Dalam Kaidah Fiqhiyyah disebutkan, Adh-dhorurotu tubihul-mahzhurot, “dalam kondisi darurat, hal-hal yang terlarang menjadi dibolehkan”.Selain itu, ulama juga berpendapat walaupun tidak bersifat Dhorurot, tapi ada kebutuhan Lil-haajiyat, untuk mengobati suatu penyakit yang sulit untuk diobati dengan obat-obat yang lain, maka dibolehkan untuk mengkonsumsinya.Tetapi ada pula ulama yang berpendapat bahwa kadal dan cicak yang ada di Indonesia termasuk hewan menjijikkan dan kotor. Cicak juga termasuk kategori hewan fawasiq yang Rasululullah SAW perintahkan untuk membunuhnya sehingga hukum mengonsumsinya haram.Perintah untuk membunuh tikus, kalajengking, burung rajawali, burung gagak dan anjing galak terdapat dalam hadits ‘Aisyah.

Beliau Radhiyallahu‘anha mengatakan bahwasannya Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda yang artinya:“Lima hewan fasiq (pengganggu) yang hendaknya dibunuh walaupun ditanah haram, yaitu: tikus,kalajengking, burung elang, burung gagak, dan anjing galak” (HR.Bukhori, Muslim)Dalam hadits lain Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan pahala yang banyak/ keutamaan dalam membunuh cicak“Barangsiapayang membunuh cicak dengan sekali pukul maka dia mendapatkan seratus kebaikan,dan siapa yang membunuhnya dengan dua pukulan maka mendapat pahala yang kurang dari itu, dan barangsiapa yang membunuhnya dengan tiga pukulan maka dia mendapat pahala yang lebih sedikit lagi” (HR.Muslim)

Imam An-Nawawi menjelaskan bahwa para ulama sepakat bahwa cicak atau tokek termasuk hewan kecil yang mengganggu. Al-Munawi mengatakan bahwa Allah memerintahkan untuk membunuh cicak/tokek karena hewan itu memiliki sifat yang jelek, yaitu konon dahulu hewan inilah yang meniup-niup api yang membakar Ibrahim sehingga menjadi besar.

Meskipun demikian, setiap ungkapan di dalam Alquran yang bersifat umum, pasti selalu ada pembatasnya. Selain itu, kehalalan hewan itu juga dapat ditinjau dari sisi “Thobi’ah As-Salimah”., yaitu secara naluri manusia apakah dapat menerima untuk mengkonsumsi binatang seperti cecak ataukah tidak. Sedangkan penggunaan atau memakannya untuk obat, pertama harus dipahami sebagai kasus yang bersifat individual atau tingkat urgensi bagi pasien untuk mengonsumsinya.

Jika dikhawatirkan penyakitnya akan menjadi lebih parah, sehingga haris mengonsumsi cicak sebagai obat, maka itu bisa disebut sebagai kondisi “Dhorurot”, atau “Haajiyaat”, sangat dibutuhkan.Namun, pertanyaannya apakah memang tidak ada obat lain yang bisa digunakan sehingga harus mengonsumsi cicak, sedangkan saat ini pengobatan konvensional sudah cukup mampu menangani berbagai penyakit.

Karena tidak ada dalil haram dari mengonsumsi cicak, maka memakan cecak adalah boleh tapi dimakruhkan, termasuk untuk pengobatan para ulama berpendapat harus dilakukan sesuai kebutuhannya, tidak berlebihan dan terus menerus, serta mengupayakan terlebih dahulu pengobatan lain yang telah jelas kehalalannya.

Adapun memelihara apalagi menternakannya, maka jelas-jelas bertentangan dengan anjuran Rasulullah SAW untuk membunuhnya walaupun hikmah dan alasan di balik itu perlu pembahasan tersendiri. (Vn)