Jakarta, GPriority.com – HUT RI tidak lengkap rasanya jika tidak dirayakan dengan menggelar tradisi-tradisi. Jika tradisi 17 Agustus yang paling terkenal adalah dengan berbagai lomba, maka masyarakat Suku Sasak di Lombok, NTB menggelar tradisi yang sangat unik untuk merayakannya. Tradisi ini dikenal dengan sebutan Peresean.
Peresean atau peresean merupakan pertunjukan yang menjadi simbol kesatria pada zaman dahulu oleh Suku Sasak di pulau Lombok. Peresean memiliki makna maskulinitas. Melalui peresean lahir pepadu atau oran yang terlatih, pemberani, memiliki jiwa pantang mundur dalam menghadapi kesulitan.
Untuk menjadi pepadu, seseorang harus memiliki tiga sifat, yakni wirase, wirame dan wirage. Wirase merupakan cara pepadu dalam menggunakan perasaan dan hati ketika bermain peresean.
Wirame adalah suatu bentuk gerakan seperti menari yang dilakukan oleh pepadu untuk mengurangi rasa tegang dan menjadi cara untuk mempengaruhi lawan. Sedangkan Wirage adalah kondisi raga atau fisik yang kuat untuk menghadapi lawan.
Tradisi ini sebenarnya masuk ke dalam jenis pertunjukan seni tari daerah. Dimana dua lelaki akan saling bertarung menggunakan tongkat rotan sepanjang satu meter (penjalin) sebagai senjata, serta sebuah perisai kayu yang dilapisi kulit sapi atau kerbau. Menurut sejarahnya, permainan ini sudah ada sejak abad ke-13, berasal dari ritual masyarakat agraris Lombok untuk mendatangkan hujan pada musim kemarau.
Sementara sebagai kesenian bela diri, peresean sudah ada sejak zaman kerajaan-kerajaan di Lombok, sebagai ajang sejenis latihan pedang dan perisai sebelum berangkat ke medan pertempuran. Tradisi peresean ini tidak diperuntukkan untuk perempuan karena yang terlibat dalam peperangan pada masa lampau adalah para laki-laki.
Untuk memainkannya, pertama-tama peserta atau penyelenggara harus melakukannya di tempat lapang atau luas agar ruang gerak para petarung tidak sempit dan para penonton juga bisa menyaksikan. Selanjtunya dua pepadu akan masuk ke area pertarungan, sementara tiga orang wasit (pakembar) akan mengatur jalannya pertandingan. Wasit yang bertugas mengawasi jalannya pertandingan disebut Pakembar Tengah, dan wasit yang memilih para Pepadu disebut Pakembar Pinggir.
Permainan ini dilakukan dalam lima ronde, dengan setiap ronde berdurasi tiga menit. Sebelum pertandingan dimulai, Pepadu akan diberikan instruksi dan doa. Kemudian pakembar akan memukul ende dengan rotan sebagai tanda pertarungan dimulai.
Dalam permainan peresean, terdapat beberapa aturan yang wajib dipahami pesertanya sebelum bertanding. Di antaranya seperti, Pepadu tidak boleh memukul badan bagian bawah seperti paha atau kaki, tapi Pepadu diperbolehkan memukul bagian atas seperti kepala, pundak atau punggung.
Setiap pukulan tersebut memiliki nilai masing-masing, dan pemenang dalam Peresean ini ditentukan dari nilai yang diperoleh setiap rondenya. Selain itu para Pepadu tersebut dinyatakan kalah apabila sudah menyerah atau berdarah.
Jika dalam pelaksanaannya ada Pepadu yang mengalami luka atau berdarah, tim medis akan mengobatinya dengan obat sejenis minyak khusus agar tidak menimbulkan rasa perih. Aturan yang lainnya ketika penjali atau rotan yang dipegang oleh pepadu terjatuh sampai tiga kali maka dinyatakan kalah.
Pertarungan diiringi gamelan sasak yang dalam tempo cepat. Tembang yang dibawakan merupakan tembang khusus peresean yang berunsur mistis. Tembang itu biasanya akan mendongkrak semangat bertarung dan mengurangi rasa sakit akibat sabetan rotan.
Peresean akan dihentikan, apabila salah satu pepadu mengeluarkan darah atau dihentikan pekembar. Jika hingga 3-4 ronde kedua pepadu masih sama kuat, pekembar akan menyatakan hasil seri.
Setelah bertarung para Pepadu kemudian akan bersalaman dan berpelukan, sebagai tanda damai dan tidak ada dendam diantara petarung.
Pertarungan peresean disakralkan, sehingga peresean tak digelar sembarang waktu. Pada masa sekarang, peresean diadakan menjelang perayaan-perayaan khusus, seperti ulang tahun kemerdekaan 17 Agustus, hari jadi kabupaten/kota, atau menjelang Ramadhan. (Vn)