Jakarta, GPriority.com – Disela-sela pertemuan bilateral antara Ibu Negara Iriana Joko Widodo dengan Ibu Negara Filipina, Louise Araneta Marcos di Istanan Kepresidenan Bogor. Ibu Iriana memperkenalkan salah satu kekayaan budaya Indonesia berupa tenun Baduy kepada istri Presiden Filipina Ferdinan Marcos Jr itu.
Tidak hanya melihat berbagai kain tenun Baduy yang sudah jadi, namun Ibu Iriana dan Ibu Negara Louise Araneta Marcos turut melihat proses pembuatannya. Iriana disebut juga memberikan hadiah tenun Baduy sebagai kenang-kenangan.
Kain tenun merupakan salah satu warisan budaya Indonesia yang bisa ditemukan di berbagai daerah, mulai dari ulos-batak, sasirangan dari Banjar, sarung bugis, songket Palembang dan Lombok, dan kain lurik yang semuanya memiliki ciri khas masing-masing.
Selain beberapa kain tenun tadi, Banten ternyata juga memiliki kain tenun yang secara turun temurun dilestarikan oleh masyarakat Baduy atau Urang Kenakes yang dikenal dengan Tenun Baduy.
Sama seperti kain tenun dari daerah lainnya, Tenun Baduy juga sangat erat akan makna, adat dan tradisi yang dipercaya masyarakat setempat. Sehingga fungsinya tidak sekedar untuk memenuhi kebutuhan sandang, akan tetapi hasil tenun digunakan dalam kegiatan adat.
Diperkirakan keahlian menenun Suku Baduy sudah mereka miliki sejak masa perundagian atau perunggu mulai abad ke-8 sampai ke-2 SM.
Menurut kepercayaan Urang Kenakes, menenun merupakan wujud dari kedisiplinan perempuan Baduy terhadap kebiasaan yang dilakukan nenek moyang mereka.
Dengan menenun, para anak perempuan di Baduy berarti telah melestarikan aturan adat yang mereka dapatkan secara turun-temurun sehingga tidak akan terputus sampai ke anak cucu.
Proses pembuatan kain tenun Suku Baduy konon dibantu oleh alam dan sudah dimulai bahkan biji kapas baru ditanam hingga tumbuh dan berbuah. Masyarakat Suku Baduy memang terkenal dengan kehidupan yang masih sangat bergantung dengan alam sehingga mereka begitu menghormati lingkungan sekitar.
Setelah pohon kapas berbuah, maka buahnya yang sudah matang akan dikeringkan di bawah sinar matahari agar buah kapas pecah.
Buah kapas yang telah dijemur selanjutnya dipisahkan antara kulit dengan isinya. Isi kapas ini kemudian dijadikan benang. Setelah terpisah dari kulitnya, kapas ditarik-tarik agar mengembang dan memiliki tekstur yang lembut saat dibuat benang.
Pada tahap tersebut, kapas belum bisa dijadikan benang. Kapas masih harus melalui proses nyikat atau menyampurkan isi kapas dengan air bubur nasi, kemudian ngilak atau penggulungan isi kapas, dan barulah setelah itu dilakukan pemintalan kapas menjadi benang atau disebut nganteh.
Proses memintal kapas menjadi benang menggunakan alat pintal kayu tradisional yang sudah diciptakan ratusan tahun lalu, disebut gedogan atau paraga. Selanjutnya benang dirajut sampai menjadi bentuk kain yang diinginkan.
Bahan utama dalam membuat benang kain tenun Baduy sendiri sebenarnya tidak hanya berasal dari kapas, tapi ada juga yang menggunakan daun pelah.
Dilansir dari laman website Kemendikbud, terdapat 6 tahap proses dalam menenun, yaitu nganjingjing, nalimbuhan, ngasupkeun pakan, nyisir, ngajingjing, dan keteg. Seluruh proses tersebut dilakukan berulang-ulang dari tahap pertama dan seterusnya sampai selesai.
Lama proses menenun berlangsung selama berminggu-minggu hingga berbulan-bulan, tergantung ukuran kain dan kerumitan motif kain. Oleh karena itu, biasanya proses tenun dilakukan setelah musim panen. Sebab kaum wanita tidak banyak disibukkan untuk mengolah hasil panen.
Suku Baduy percaya bahwa proses menenun hanya boleh dilakukan oleh kaum perempuan. Konon jika kaum laki-laki yang menenun, maka perilakunya akan berubah seperti perempuan.
Tenun Baduy dikenal memiliki ciri khas tersendiri yang membedakannya dengan kain tenun lain. Kekhasan ini juga menunjukkan identitas dan makna simbolik di dalamnya.
Motif kain tenun Baduy tidak lepas dari unsur alam, fungsi pemakaian, dan nilai adat yang dianut oleh Baduy Dalam dan Baduy Luar. Perbedaan di antara kain tenun keduanya dapat dilihat dari warna dan tenunan yang mereka kenakan.
Kain yang didominasi warna putih dipakai oleh Suku Baduy Dalam. Warna putih diartikan dengan kesucian dan aturan yang belum terpengaruh dengan budaya luar. Hal ini sejalan dengan kehidupan Suku Baduy Dalam yang tergolong masih terisolir dari dunia luar.
Selain itu, teksturnya yang kasar yang berasal bintik-bintik kapas dari proses pemintalan tradisional. Motif sederhana menjadi ciri khas lainnya dari kain ini. Sedangkan untuk suku Baduy Luar, kain tenun didominasi dengan warna hitam dan biru tua. Kain tenun juga biasa dibuat menjadi baju adat yang menyerupai kebaya, umumnya dipakai oleh kaum perempuan.
Motif tenun Baduy umumnya sangat sederhana, berbentuk geometris, seperti garis berbentuk kait, spiral atau disebut juga pilin, garis lurus, segi tiga, segi empat, dan bulatan.
Kesederhanaan pada motif tenun Baduy ini merupakan filosofi dari kepercayaan masyarakat Baduy tentang hidup dalam kesahajaan dan kesederhanaan.
Selain bentuk kesederhanaan, motif tenun Baduy juga merupakan kreasi dari bentuk-bentuk simbolis yang tertuang dalam adat hingga keseharian mereka, salah satunya berkaitan dengan nilai-nilai kepercayaan pada ajaran Tuhan.
Dalam pembuatan kain tenun, perempuan Suku Baduy biasanya berfokus pada dua jenis kain tenun, yaitu kain sarung atau dikenal oleh masyarakat setempat dengan samping, dan tenun bodasan atau disebut dengan boeh.
Pada umumnya, samping memiliki ciri khas berupa warna dasar hitam atau biru tua dipadu dengan garis-garis kecil warna biru terang atau motif kotak-kotak tipis. Namun tidak jarang pula ditemukan samping tanpa motif alias polos. Samping dapat dijahit menjadi sarung atau kulot.
Sedangkan tenun bodasan atau boeh merupakan tenunan putih polos, biasanya digunakan sebagai bahan untuk membuat baju, ikat kepala, atau selendang. (Vn)