Mendorong Minat Baca dan Tulis Sang Abdi Negara

Jakarta,GPriority.com-Menulis dan membaca seharusnya menjadi bagian dari setiap pegawai, termasuk Pegawai Negeri Sipil (PNS)/ Aparatur Sipil Negara (ASN), Sang Abdi Negara. Apalagi di era teknologi informasi yang banyak menguasai ruang dan waktu dewasa ini. Seseorang dapat saja mendapatkan bahan bacaan dari perpustakaan offline maupun online, website dan media sosial. Termasuk memperoleh data/bahan, ide dan isnpirasi secara offline atau online melalui gawai yang dimiliki serta terhubung dengan internet.

Sayangnya hal tersebut masih jauh panggang dari api. Sebagai gambaran umum, berdasarkan survei Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) Indonesia menduduki posisi terendah pada Peringkat Budaya Membaca di 52 Negara Asia Timur. Survei lain yang dilakukan oleh The World Most Literate Nations (WMLN) terkait tingkat literasi dunia pada April 2016 pun menempatkan Indonesia di urutan buncit, posisi ke-60 dari 61 negara yang disurvei. Posisi itu lebih tinggi satu tingkat dari pada Botswana, negara kecil di benua Afrika dengan penduduk yang hanya 2,1 juta jiwa. Sebelumnya di tahun 2012, data statistic UNESCO menunjukkan indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001. Dengan kata lain setiap 1.000 penduduk hanya satu orang saja yang mempunyai minat baca.

Sementara secara khusus, mantan Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Daerah Kota Cirebon, Drs H Moch Korneli MSi pada tahun 2012 mengungkapkan Pemerintah Kota Cirebon memiliki tidak kurang dari 6 ribu pegawai negeri sipil. Tetapi dari jumlah tersebut, beberapa indikator menunjukkan lemahnya minat baca dan menulis. Menurutnya sedikit dari yang datang ke perpustakaan Kota Cirebon berasal dari lingkungan PNS/ASN. Korneli menyayangkan kondisi tersebut, padahal Perpustakaan Kota Cirebon sendiri telah menyiapkan setidaknya 50 ribu judul buku berbagai jenis. Meski begitu, Korneli mengaku berbahagia walau kunjungan PNS/ASN ke Perpustakaan minim, kunjungan masyarakat umum menunjukkan peningkatan.

Seperti halnya Kota Cirebon. Badan Perpustakaan Daerah dan Arsip Provinsi Papua seperti dikutip dari gatra.com mengungkapkan minat membaca di Papua hanya 0,1% setiap tahunnya. Pada sisi lain juga terungkap peran pemerintah daerah yang minim dalam mengajak warganya untuk gemar membaca ataupun berkunjung ke perpustakaan daerah.

Dalam pengamatan penulis, maraknya media sosial semisal Twitter, Instagram, Facebook dan lainnya ikut mempengaruhi tumbuhnya minat membaca. Secara umum, masyarakat cenderung membaca selintas dan ringkas artikel, berita maupun link yang hadir di media sosial tersebut tanpa tindak lanjut mendalaminya. Masyarakat juga lebih gemar update status atau sekadar cup-cuap di media sosialnya masing-masing. Pada sisi lain, banyaknya kabar hoax yang berseliweran di media sosial begitu mudah dipercaya oleh mereka tanpa melakukan cross check kembali.

Faktanya, semakin tinggi hasrat cuap-cuap di linimasa media sosial cenderung dipengaruhi hasrat membaca. Hal tersebut juga diaminkan oleh Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) dimana diungkapkan perkembangan teknologi digital seperti media sosial ternyata menyebabkan minat baca masyarakat menjadi rendah. Berdasarkan artikel Kompas pada 7 Februari 2017 diketahui 59% konten media sosial atau daring tidak pernah dibuka atau diklik. Sebagian besar tulisan online oleh netizen Indonesia hanya dibaca sekilas saja atau tidak sama sekali. Dalam pengamatan Nukman Luthfie, pakar media sosial, judul berita online cenderung dianggap kesimpulan agar orang yang baca bisa segera tahu isinya.Kalaupun dibaca, tidak sampai semenit.

‘Berisiknya’ orang Indonesia memang diakui APJII (Asosiasi Penyelenggara Jaringan Internet Indonesia). Menurut lembaga ini, jumlah netizen di Indonesia tercatat sekitar 132,7 juta jiwa atau 51,1 persen dari total penduduk Indonesia pada tahun 2016. Sementara dalam catatan menurut situs statista.com, lima besar sosial media yang paling banyak digunakan netizen Indonesia berturut-turut adalah Facebook, Instagram, Twitter, Path, dan Google+. Indonesia bahkan menempati urutan nomor satu dinilai dari jumlah cuitan dalam setiap waktu lewat Twitter. Bahkan sepanjang tahun 2016 dalam setahun jumlah twittan orang Indonesia ialah sejumlah 4,1 milyar.

Selain membaca, menulis merupakan salah satu bentuk literasi dasar. Maman Suherman, penulis yang juga mantan wartawan senior menegaskan bahwa kemampuan menulis harus didasari kecintaan akan membaca terlebih dahulu. Menurutnya, mustahil untuk menyukai dunia tulis menulis jika seseorang tidak menyukai dunia membaca. Pasalnya, menulis ialah membaca berulang-ulang. Melalui membaca ketajaman imajinasi dan pemikiran seseorang akan terbentuk. Atas dasar itu membaca dan menulis merupakan suatu kesatuan yang tak terpisahkan.

Seorang Pramudya Ananta Toer bahkan pernah menyatakan, orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dari masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian, ujarnya. Sementara, Lawrence Clark Powell, pustakawan sekaligus kritikus Sastra Amerika Serikat mengatakan, menulislah agar dipahami, bicaralah supaya didengarkan dan membacalah untuk mengembangkan diri.

Berangkat dari pendapat tersebut, penulis berkeyakinan bahwasanya PNS/ASN seharusnya menjadi contoh serta pelopor gerakan sadar literasi juga mempunyai minat yang tinggi terhadap membaca dan menulis. Apalagi mereka datang dari kalangan terdidik yang tugasnya melayani dan memutuskan kebijakan. Kondisi ini diperkuat oleh penelitian Katriina Byström yang mengangkat isu Information Activities in Work Tasks (IAWT), disebutkan bahwa pegawai yang rajin membaca akan menemui satu dari beberapa solusi dalam menyelesaikan tugas-tugas (tasks) pekerjaannya. Teori IAWT Byström juga mengaitkan antara tingkat kerumitan suatu pekerjaan (task complexity), dengan jenis informasi yang akan digunakan untuk menyelesaikan tugas. Dasi situ dapat disimpulkan bahwa budaya membaca akan membawa banyak dampak positif dalam kehidupan organisasi di tempat kerja. Dengan begitu para PNS/ASN dapat ‘mematahkan’ teori Robert Lavigna dalam artikelnya bertajuk, ‘Why Government Workers Are Harder to Motivate. Dalam artikel itu digambarkan pekerjaan di lingkungan pemerintah cenderung ‘terjebak’ rutinitas operasional dan dianggap sering mempersulit keadaan. Dengan kata lain terlalu birokratis dan rumit. (Anggun Wahyu Pratama /Pustakawan Ahli Pertama Kemenko PMK)