Jakarta,GPriority.com-Semakin melemahnya aset kripto untuk pembayaran terus disikapi pemerintah pusat dengan mengkaji lahirnya uang digital.
Dalam siaran persnya, Menkeu Sri Mulyani beberapa waktu yang lalu mengatakan, lahirnya aset kripto membuat perekonomian digital menjadi lebih berkembang. Hal inilah yang memunculkan wacana kripto dijadikan mata uang pembayaran digital. Namun, belakangan harga asset kripto mulai mengalami penurunan. Salah satunya adalah Bitcoin.
Adanya penurunan harga juga terkonfirmasi dari laporan riset yang dilakukan JP Morgan terbaru. Lembaga itu memberikan ramalan harga Bitcoin–aset kripto tertua, semakin turun seiring dengan biaya produksinya kini hanya berkisar USD13.000 per keping.
Artinya, biaya produksinya mengalami penurunan separuh lebih dari estimasi USD24.000 per keping pada awal Juni 2022. Menurut laporan Cointelegraph, salah satu penyebab penurunan biaya menambang Bitcoin yakni penggunaan perangkat keras yang lebih efisien.
Berkembangnya penggunaan aset kripto sebagai alat pembayaran memang belum bisa diterima di sejumlah negara, meski di negara bersangkutan transaksinya tetap bisa berlangsung.
Hanya negara Amerika Tengah, El Salvador, yang telah menetapkan Bitcoin sebagai mata uangnya. Di Indonesia, mata uang digital kripto belum bisa menjadi alat pembayaran, tetapi masih sebatas sebagai aset investasi.
Isu soal mata uang digital kripto juga telah menjadi salah satu isu hangat di sela-sela pelaksanaan side events G20, di Nusa Dua, Badung, Bali, pekan lalu.
Apa pasal mata uang digital kripto menjadi isu di forum skala internasional itu? Bisa jadi isu itu mencuat karena ada kekhawatiran bahwa berkembangnya mata uang digital akan menggerus dominasi institusi perbankan dan keberadaan bank sentral, karena sifatnya yang terdesentralisasi dan anonim.
Deputi Gubernur Bank Indonesia Juda Agung mengungkapkan, kini terdapat 20.000 jenis aset kripto di seluruh dunia dan masih berpotensi bertambah. Hal ini tak terlepas dari perkembangan teknologi yang kian pesat saat pandemi Covid-19.
Masifnya penggunaan aset kripto di seluruh dunia, kata dia, menjadi faktor mendasar bank sentral di berbagai negara untuk mengkaji secara mendalam mengenai uang digital central bank digital currency (CBDC). Terlebih, perkembangan aset kripto yang semakin pesat menimbulkan kekhawatiran munculnya risiko keuangan, sejalan dengan tingginya kapitalisasi pasar yang dikombinasikan dengan adopsi yang kuat.
Tidak ingin tertinggal dengan perkembangan tren pembayaran saat ini. Bank Indonesia pun terus melakukan penyempurnaan untuk melahirkan rupiah digital atau CBDC.
Bagi bank sentral itu mengakui lahirnya rupiah digital merupakan keniscayaan yang harus dihadirkan sebagai alat pembayaran yang lebih baik. Apalagi, mayoritas bank sentral dunia juga telah melakukan tahapan riset dan percobaan uang digital sesuai dengan karakteristik negaranya masing-masing.
Deputi Gubernur BI Doni P Joewono, di Nusa Dua, Bali, mengakui perkembangan kripto sebagai aset berkembang sangat pesat di dunia, maupun Indonesia sendiri, karena memberikan keuntungan. Akan tetapi, sebagai alat pembayaran tidak pernah diakui di dalam negeri karena mengandung risiko berbahaya.
“Dari perspektif keuangan makro, aset kripto dapat digunakan untuk pencucian uang, penghindaran pajak, dan mengganggu stabilitas keuangan,” ujar Doni.
Dalam rangka itu, Bank Indonesia pun berencana menerbitkan panduan (white paper) rupiah digital sebagai mata uang digital resmi bank sentral (CBDC) akhir 2022. Hal ini untuk mengakomodasi pesatnya perkembangan digitalisasi dan penggunaan aset kripto, seperti Bitcoin selama pandemi Covid-19.
Menurut Doni, panduan ini merupakan langkah besar yang ditempuh BI sebelum menerbitkan rupiah digital. Sebab, ada berbagai risiko yang harus diantisipasi ketika rupiah digital terbit, seperti stabilitas ekonomi, moneter, dan sistem keuangan. Pada titik ini, dibutuhkan kerangka dan regulasi untuk mengatasinya.
Menurut dia, keberadaan asset kripto melatarbelakangi penerbitan CBDC atau mata uang digital. “Saat ini mayoritas bank sentral dunia telah melakukan tahapan riset dan percobaan sesuai dengan karakteristik negara masing-masing,” tambahnya.
Menurut Doni, setidaknya terdapat enam tujuan penerbitan CBDC. Pertama, menyediakan alat pembayaran digital yang bebas risiko menggunakan rupiah digital. Kedua, memitigasi risiko sovereign digital currency.
Ketiga, memperluas efisiensi dan tahapan sistem pembayaran termasuk cross border. Keempat, memperluas dan mempercepat inklusi keuangan. Kelima, menyediakan instrumen kebijakan moneter. Keenam, memfasilitasi distribusi fiscal subsidy.
Rupiah digital atau CBDC nantinya dirancang untuk dapat digunakan melalui transfer uang tunai maupun surat berharga. Selain itu, rupiah digital itu dapat menyasar seluruh masyarakat di Indonesia, khususnya untuk daerah terpencil dan tertinggal.
Tidak itu saja, Bank Indonesia diharapkan juga harus bisa memastikan CBDC saling terhubung atau interoperabilitas, interkonektivitas, dan integrasi (3I) dalam sistem pembayaran, seperti RTGS, kliring sistem, ATM dan kartu debit. Yang terpenting lahirnya uang digital jangan sampai menimbulkan sumber risiko baru yang dapat mempengaruhi stabilitas ekonomi, moneter, dan sistem keuangan.(Hs.Foto.dok.BI)