Jakarta, GPriority.com – Desa Wisata Uma Uta yang terletak di Kabupaten Sikka menjadi satu-satunya desa di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang lolos 50 besar Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) 2022.
Berbeda dari desa wisata lain yang menonjolkan pesona alamnya, Desa Uma Uta justru menjadikan tradisi dan seni budaya khas Sikka sebagai daya tarik wisata desa ini. Munculnya konsep desa wisata di Uma Uta juga sangat unik, yakni berawal dari sebuah tradisi tenun ikat khas Sikka yang dihasilkan oleh Sanggar Tari Dokka Tawa Tana, dimana tradisi ini kemudian memunculkan wisata atraksi seni budaya lainnya, seperti seni musik dan seni tari tradisional.
Bisa dikatakan, Uma Uta adalah desa wisata yang didirikan oleh sanggar Doka Tawa Tana, yang ada di Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur.
Sanggar Seni Budaya Doka Tawa Tana pertama kali didirikan pada tahun 1980, bergerak di bidang seni kerajian tangan mengikat motif pada benang, kemudian diproses menjadi kain sarung untuk keperluan sehari-hari maupun komersil guna memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga dan juga kebutuhan sosial masyarakat. Seni kerajinan ini menghasilkan produk berupa kain tenun ikat khas Sikka.
Melalui Sanggar ini juga tumbuh dan berkembangnya tari tradisional dan seni musik untuk kalangan anggota maupun dipentaskan untuk umum dalam pentas hiburan dan event-event budaya, baik tingkat lokal maupun regional dan nasional.
Sanggar Doka Tawa Tana telah menjadi tempat belajar nilai-nilai kearifan lokal bagi masyarakat dan generasi muda setempat. Mereka yang pernah mengunjung Sanggar Doka Tawa tana selalu memberikan apresiasi dan bangga karena masih menemukan kelestarian budaya.
Kelestarian budaya Desa Uma Uta yang dapat disaksikan pengunjung berupa atraksi proses tenun ikat tradisional dari kapas lokal, seremoni adat, tarian dan musik gambus dan suling serta demonstrasi proses tenun ikat pewarna alami (organik) dari akar, daun, dan kulit pohon.
Tenun Sikka sebagai wisata yang diunggulkan di desa ini memiliki keunikannya sendiri, yaitu semuanya terbuat dari bahan alami, mulai dari bahan kain yang berasal dari kapas, proses pewarnaan menggunakan bahan alami, hingga proses produksinya yang semua dikerjakan manual menggunakan tangan dan bantuan alat tenun tradisional.
Kain tenun ikat digunakan, baik oleh orang yang masih hidup maupun mereka yang sudah tiada. Namun, pemakaian kain juga dibedakan berdasarkan tingkat produktivitas para warga desa. Mereka yang sudah melewati masa produktif akan memakai kain yang disebut utan welak, sedangkan yang masih produktif menggunakan kain disebut utan hawatan.
Ada pula pembeda dari sisi jenis kelamin. Kain yang digunakan perempuan memiliki banyak motif. Sementara, kain untuk para pria kebanyakan polos atau hanya bermotif kotak-kotak. Perbedaan ini didasarkan atas budaya masyarakat dulu mengenai sikap lakiālaki dan perempuan yang harus dibedakan. Tujuannya untuk menjaga kesopanan dan moralitas.
Karena seluruh pembuatan kain tenun dilakukan dengan cara tradisional, maka untuk membuat satu kain saja diperlukan waktu hingga satu tahun, sedangkan untuk kain utan hawatan dengan warna cerah dibuat sekitar empat hingga lima bulan. Kain adat utan welak dijual seharga Rp10 juta dan utan hawatan dijual Rp5 juta.
Pembuatan kain tenun ikat Sikka juga bisa diikuti oleh wisatawan yang datang ke Uma Uta. Sanggar menyediakan pelatihan pembuatan ramuan pewarna alami bagi anak-anak SD,SLTP, SLTA dan remaja muda-mudi serta wisatawan yang mau belajar tenun ikat dan pewarnaan alami.
Terdapat juga pelatihan pembuatan souvenir dari bahan lokal dan sarung bagi pemuda usia angkatan kerja dan aktivitas warga kampung Dokar dan sekitarnya.
Melalui keberadaan Desa Wisata Uma Uta diharapkan menjadi langkah dalam melestarikan tradisi budaya dan kerajinan lokal terutama Tenun Ikat Sikka. (Vn.Foto.Istimewa)