Jakarta, GPriority.com – Wacana cuti melahirkan selama enam bulan maupun cuti untuk yang keguguran dalam Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA) tengah menjadi sorotan di kalangan masyarakat.
Pasalnya, dalam RUU KIA tersebut tidak hanya mengubah masa waktu istirahat bagi karyawati yang akan melahirkan, namun juga mengatur hak pekerjaan sang ibu yang harus dipenuhi perusahaan. Wacana ini tentunya memiliki tujuan positif, terutama demi memastikan pemenuhan air susu ibu (ASI) eksklusif.
Adapun dalam draf RUU KIA bab II pasal 4 ayat (2) a dan b, berbunyi: Setiap ibu yang bekerja berhak mendapatkan cuti melahirkan paling sedikit 6 bulan, mendapatkan waktu istirahat 1,5 bulan atau sesuai surat keterangan dokter kandungan atau bidan jika mengalami keguguran.
RUU KIA turut mengatur penetapan upah untuk ibu yang cuti melahirkan, yakni pada 3 bulan pertama masa cuti, ibu mendapat gaji penuh (100%) dan mulai bulan ke-4 hingga bulan ke-6, upah dibayarkan sebesar 75%. Sebelumnya, masa cuti melahirkan diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Tenaga Kerja dengan durasi 3 bulan saja.
Wacana tersebut menuai pro dan kontra di masyarakat. Tidak hanya dari kalangan pengusaha, namun beragam reaksi juga disampaikan oleh sejumlah ibu pekerja. Mereka menganggap perpanjangan masa cuti melahirkan hingga enam bulan memang diperlukan para wanita yang baru melahirkan.
Dukungan tersebut, salah satunya datang dari Ziah (26) seorang akuntan sebuah perusahan di Jakarta Selatan yang baru saja melahirkan anak pertama, menyambut baik wacana cuti melahirkan selama enam bulan ini.
Menurut Ziah, ada banyak alasan penting yang mendasari perlunya masa cuti lebih lama bagi ibu yang baru melahirkan, baik itu untuk sang bayi maupun untuk kondisi ibu itu sendiri. Ia pun tidak mempermasalahkan adanya pemotongan gaji sebesar 25% pada 3 bulan berikutnya yang mungkin diterima jika RUU ini disahkan.
“Sebagai working mom aku setuju sama undang-undang ini. Menurut aku berkurangnya gaji 25% tidak bisa dibandingkan dengan fokus pada perkembangan anak dan pemberian asi eksklusif selama 6 bulan” kata Ziah dalam wawancara (Kamis, 23/6).
Selain untuk bayi, menurut Ziah, pada masa awal pasca melahirkan, wanita akan banyak mengalami perubahan, termasuk perubahan emosi yang kerap menimbulkan baby blues ataupun postpartum depression.
“Pada masa bulan-bulan pertama setelah melahirkan wanita akan menjalani fase perubahan yang luar biasa apalagi jika itu adalah kelahiran anak pertama.” Kata Ziah.
Meski demikian, Ziah juga menyadari adanya ketidakpuasan pelaku usaha terkait beban operasional yang harus ditanggung apabila RUU KIA disahkan,namun menurutnya, perusahaan seharusnya tidak merasa terancam serta dapat memahami posisi karyawati yang baru melahirkan.
“Mereka harus memahami bahwa secara manusiawi seorang ibu harus memperhatikan anaknya dalam fase-fase 6 bulan pertama.” Kata Ziah.
Jika nantinya RUU KIA benar-benar disahkan, Ziah menyarankan agar aturan cuti melahirkan selam enam bulan bisa dinegosiasikan antara perusahaan dan karyawan. Hal ini menurutnya, agar tidak ada salah satu pihak yang dirugikan.
“Sebaiknya tidak bersifat wajib untuk pelaku usaha melainkan bersifat fleksibel dengan adanya negosiasi antara perusahaan dan karyawan yang akan mengambil cuti.”
“Tidak harus 75:25 bisa jadi 50:50 agar perusahaan tidak terlalu terbebani dengan biaya gaji karyawan dan karyawan pun bisa memilih mereka mau ambil cuti melahirkan selama 6 bulan atau hanya 3 bulan.” kata Ziah.
Berbeda dari Ziah, penolakan atas wacana RUU KIA disampaikan oleh Zildji (20), ibu yang sedang menjalani cuti pasca melahirkan anak pertama, yang juga berprofesi sebagai sales associate di sebuah retail di Jakarta.
Menanggapi aturan pembayaran upah 100% pada 3 bulan pertama menjadi 75% pada bulan ke-4 hingga ke-6 dalam RUU KIA, menurut Ziah, jumlah tersebut tidak dapat menutupi kebutuhannya dan keluarga.
“Kalau aku pribadi untung sekarang kontra ya. Karena suamiku itu belum kerja jadi pendapatan keluarga aku, ya dari aku sendiri, dan sekarang kebutuhan anak makin besar makin banyak dan mahal.” ungkap Zildji, melalui WhatsApp chat pada (Jumat, 24/6).
Menurut Zildji, cuti melahirkan tidak perlu terlalu lama. Ia justru lebih tertarik dengan wacana masa cuti suami selama 40 hari dalam RUU KIA.
Sebagaimana diketahui, usulan cuti bagi suami yang istrinya baru melahirkan atau keguguran juga tertuang dalam daf RUU KIA Pasal 6 ayat (2). Dalam draf RUU KIA, disebutkan bahwa suami berhak mendapatkan cuti paling lama 40 hari untuk mendampingi istri melahirkan atau 7 hari jika istri mengalami keguguran.
“Menurut aku 4 bulan sebenernya cukup. satu bulan sebelum lahir, tiga bulan setelah lahir. Aku sebenarnya lebih setuju suami juga ikut cuti 40 hari.”
Zildji juga menambahkan, bahwa dukungan suami pasca melahirkan amat penting dan tidak tergantikan.
“Walaupun dibantu sama orang tua atau mertua tapi tetap support dari suami itu penting.” Kata Zildji.
Diketahui, saat ini Badan musyawarah DPR telah menyepakati RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak atau RUU KIA akan disahkan sebagai RUU inisiatif DPR dalam rapat paripurna terdekat. (Vn)