Jakarta, Gpriority.com – Peran Diaspora Indonesia selama ini kurang diberdayakan. Padahal secara kuantitas dan kualitas, Diaspora Indonesia tak diragukan lagi. Tidak adanya lembaga yang secara khusus mengurus persoalan mereka disinyalir adalah salah satu sebabnya.
Dalam Sesi 3 bertema Pemberdayaan Peran Diaspora Indonesia pada rangkaian Dialog Publik Penyusunan Rancangan Awal RPJPN 2025-2045 dan RPJMN 2025-2029, Pembangunan Bidang Politik Luar Negeri dan Kerjasama Pembangunan Internasional yang diselenggarakan oleh Kementerian PPN/ Bappenas, Dino Patti Djalal, pendiri Foreign Policy Community of Indonesia memaparkan bahwa diaspora Indonesia di Luar Negeri mengalami perkembangan pesat. Citra atau pandangan orang terhadap mereka juga sangat positif.
Ditilik dari aspek ekonomi, peran diaspora Indonesia besar sekali. “Sebagai gambaran, orang Indonesia di Luar Negeri sekali kirim uang banyak sekali loh ke kampungnya di Indonesia. Itu secara tidak langsung menggerakan ekonomi tempatan,” sebut Dino. Sementara jika dilihat dari aspek kelembagaan, pemerintah Indonesia masih minim memperhatikan para diaspora. Memang ada unit yang mengurus persoalan diaspora Indonesia di Kementerian Luar Negeri, namun unit itu hanya terdiri satu orang pengurusnya. Adapun yang diurus, banyak hal tidak hanya para diaspora Indonesia. Anggaran mereka pun menurut Dino sangat terbatas.
Diungkapkannya, banyak diaspora Indonesia yang kecewa menghadapi kondisi itu ketika datang ke Indonesia. “Mereka susah menghubungi orang yang berkepentingan, alamat kantor yang bisa dihubungi dimana? Dan lain-lainnya,” jelasnya. Hal itu berbeda jika terkait Pekerja Migran Indonesia (PMI) dimana BNP2TKI menjadi lembaga sah yang mengurus mereka. Padahal, jelasnya, populasi PMI yang sekitar 2 juta orang hanya sebagian kecil jumlahnya dibandingkan diaspora Indonesia yang ada di Luar Negeri.
Dino menyarankan perlunya dibentuk badan/lembaga nasional yang khusus mengurus diaspora Indonesia di Luar Negeri. Dengan lembaga itu dapat didata para diaspora Indonesia yang bergerak di bidang pendidikan, teknologi (Paten), Kuliner, Budaya, Olahraga dan Ekonomi Kreatif. “Mereka banyak yang ingin kok mendedikasikan keilmuan atau kemampuannya untuk Indonesia,” pungkasnya.
Senada dengan Dino, Ani W. Soetjipto, Pakar Hubungan Internasional FISIP UI juga mengatakan bahwa Indonesia belum memiliki institusi/ lembaga atau desk yang khusus mengurus persoalan terkait diaspora Indonesia. Namun Ani juga menekankan pentingnya negara juga harus mengurus diaspora Indonesia yang rentan dan termarjinalkan di Luar Negeri. Menurutnya para diaspora itu terdiri dari PMI/TKI, ABK, pekerja perkebunan hingga manufaktur. “Jumlah mereka cukup besar, sayangnya negara belum menjangkau mereka dengan memberikan perlindungan,” terangnya. Para pekerja tersebut, jelasnya, juga memiliki banyak masalah dan Indonesia sangat telat mengurus mereka. (PS)