Jakarta, Gpriority.com – Fenomena Citayam Fashion Week belakangan ini dipercaya para Sosiolog merupakan bentuk perlawanan budaya hypebeast yang selama ini menjadi konsumsi remaja dengan status ekonomi menengah ke atas. Remaja dengan ekonomi menengah kebawah yang berasal dari daerah penyangga Jakarta seperti Citayam, Bojonggede, Bekasi, Tangerang dan Depok pun mengadopsi hypebeast dengan cara mereka sendiri dan kemudian booming.
Pendapat Keith Payne, seorang psikolog yang berpremis saat dirinya berada di kelas ekonomi rendah, ia adalah orang yang pemalu ; malu dengan pakaian, cara berbicara, hingga cara potong rambutnya tampak tak berlaku bagi remaja SCBD (Sudirman, Citayam, Bojonggede, Depok) yang terkenal dengan komunitas Citayam Fashion Week-nya. Payne mengemukakan hal tersebut dalam ulasan tentang ketimpangan sosial dan ekonomi di The New Yorker. Payne mengatakan, ketimpangan pendapatan yang mencolok membuat orang bersaing secara emosional, bukan rasional.
Selama ini diketahui hypebeast yang notabene pengguna barang streetwear yang sedang populer diluncurkan dominan dimiliki anak muda dengan kelas menengah ke atas. Tren itu muncul karena mereka ingin dianggap tampil keren dan eksis di kehidupan sehari-hari. Urban dictionary menyebut anak muda yang hypebeast rela melakukan apa pun untuk memperoleh benda-benda yang diinginkan atau dengan kelas premium. Dengan memakai benda premium eksistensinya akan diakui dan mereka seakan berada satu tingkat diantara yang lain. Gaya hidup hypebeast ini kemudian ramai dengan tantangan ‘How much is your outfit?’ di media sosial Amerika Serikat pada 2017. Gaya ini kemudian diadopsi anak muda Indonesia yang berekonomi atas.
Seolah tak mau kalah anak muda dengan kelas ekonomi menengah ke bawah pun belakangan marak dengan gaya hidup hypebeast ini. Tentu dengan gaya serta anggaran yang berbeda dengan mereka yang tingkat atas. Bahkan cenderung ala kadarnya dan dengan anggaran yang minim. Mereka mengisi berbagai platform media sosial senada ‘How much is your outfit?’ yang kemudian booming dengan Citayam Fashion Week-nya.
Menurut Sosilog Universitas Gajah Mada (UGM), Derajat Sulistyo Widhyarto, gaya busana yang ditunjukan anak muda SCBD atau Citayam Fashion Week berbeda dengan apa yang dilakukan anak muda perkotaan. Mereka lebih memilih meminjam baju hingga membelinya dengan harga murah. “Hal inilah yang membentuk kritik konsumsi fashion kaum muda kota yang terjebak memakai baju produk industri,” ujarnya. Dijelaskannya, komunitas Citayam Fashiion Week yang umumnya berasal dari keluarga menengah ke bawah seakan menunjukkan bahwa apa yang mereka lakukan ialah melawan arus budaya konsumerisme dan pamer kemewahan (hypebeast) yang biasa dilakukan para influencer. “Mereka memang kalah bertarung dengan kaum muda menengah ke atas yang sudah masuk ruang bisnis kota. Maka Citayam adalah representasi kaum muda menengah ke bawah dan menjadi bagian dari eksistensi baru mereka dalam mengisi ruang kota sekaligus pembentuk budaya muda di kota,” terangnya.
Senada dengannya, Sosiolog Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Asep Suryana juga menilai fenomena Citayam Fashion Week sebagai bentuk perlawanan. Alasannya mereka datang ke tempat yang dicitrakan sebagai metropolitan dan selama ini dikesankan milik high class. Menurutnya, Fashion Citayam Week merupakan panggung yang diciptakan para remaja Citayam, Depok dan Bojonggede, Bogor yang kerap berkumpul di Jalan Jenderal Sudirman, Dukuh Atas, Jakarta Pusat. Asep dengan tesisnya berjudul “Suburbanisasi dan Kontestasi Ruang Sosial di Citayam, Depok” saat menempuh Program Pascasarjana Sosiologi di Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia pada 2006 sangat paham akan kondisi Citayam.
Dikatakannya, anak muda yang berasal dari Citayam di SCBD adalah anak-anak generasi kedua. Orang tuanya merupakan warga yang secara ekonomi kurang mampu untuk membeli rumah di Jakarta, sehingga tergusur dan memilih untuk tinggal di Citayam atau daerah pinggiran lainnya. Asep meengkategorikan tiga golongan, ada yang tinggal di kompleks, mereka mampu beli rumah di sana; beli rumah di kampung; dan para pengontrak yang mencari kehidupan di sektor informal di kawasan Citayam. Ditegaskannya, anak muda itu merupakan kaum bawah yang berasal dari pelosok dan harus diterima di SCBD, tempat yang didominasi dengan stigma modern dan bersih. Disisi lain ia juga meminta masyarakat tidak memberikan stigma buruk kepada para remaja SCBD itu. (PS/dbs)