Jakarta, GPriority.com – Melempar jumrah merupakan satu dari serangkaian rukun haji yang harus dijalankan jamaah haji di tanah suci. Melempar jumrah dilaksanakan oleh jamaah ketika berada di Mina. Para jemaah haji melemparkan batu-batu kecil ke tiga tiang yang berada dalam satu tempat bernama kompleks Jembatan Jumrah, di kota Mina.
Ritual ini sering dipahami sebagai lambang melempari iblis yang menjadi musuh manusia yang nyata meskipun ghaib, sehingga terkadang ditemukan jamaah yang melemparinya dengan benda lain selain kerikil. Namun, menurut sejumlah ulama banyak yang salah kaprah dalam mengartikan ritual ini dengan kurang memahami sejarah dan maksud perintah melempar jumrah.
Lantas, bagaimana sejarah melempar jumrah dan maknanya dalam Islam? Benarkah untuk melempari setan?
Ritual melempar jumrah berawal dari kisah ketaatan Nabi Ibrahim dalam melaksanakan perintah Allah SWT dalam mengorbankan Nabi Ismail untuk disembelih. Praktik melempar jumrah terjadi pada saat Nabi Ibrahim dalam perjalanan ke suatu tempat untuk menyembelih Nabi Ismail. Dalam perjalanan itu, Nabi Ibrahim AS mendapat godaan iman dari setan agar menghentikan niatnya menyembelih Nabi Ismail AS.
Namun, keimanan Nabi Ibrahim tidak goyah sama sekali. Ketika Nabi Ibrahim meninggalkan Mina dan diturunkan ke Al-Aqaba, setan kemudian menampakkan dirinya di atas batu besar. Malaikat Jibril yang pada saat itu bersama Nabi Ibrahim memerintahkan beliau untuk merajamnya, Nabi Ibrahim pun melemparkan tujuh batu kerikir kepada setan dan setan pun menghilang. Peristiwa kemunculan setan dan Nabi Ibrahim ini terus terulang hingga sebanyak 3 kali.
Tidak berhasil menggoda, Nabi Ibrahim, setan akhirnya mendatangi Siti Hajar dan Nabi Ismail AS agar keduanya menghentikan apa yang diperintahkan Allah kepada Nabi Ibrahim, tetapi tidak berhasil. Keduanya turut melempari setan dengan tujuh batu kerikil.
Dari cerita diatas dapat dijelaskan, bahwa melempari batu adalah bentuk simbolisasi yang diambil dari sejarah Nabi Ibrahim AS yang melempari tiga dinding batu yang digambarkan sebagai perlawanan kepada setan. Melempar batu pada dasarnya menegaskan mengenai penolakan diri serta harga diri sendiri serta menjauhkan keinginan serta nafsu duniawi dan tidak benar-benar melempari setan ataupun tindakan tersebut bisa melukai bahkan membunuh setan. Karena sampai kapanpun setan tidak akan pernah mati.
Anggapan melampar jumrah sama dengan melempari setan pada dasarnya datang dari perkataan Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma saat menceritakan kisah Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Ibnu Abbas kemudian mengatakan, “Kalian merajam setan, bersamaan dengan itu (dengan melempar jumrah) kalian mengikuti agama ayah kalian Ibrahim“.
Hadist ini dinyatakan shahih. Hanya saja sebagian orang keliru dalam memahami perkataan Ibnu Abbas. Kata “merajam” seringkali dipahami dalam arti konkrit, yakni setan benar-benar sedang diikat di tiang tugu dan tersiksa oleh batu-batu yang dilempar jamaah haji.
Padahal yang dimaksud Ibnu Abbas, merajam setan di sini dimaknai bahwa setan merasakan sakit dan terhina apabila melihat seorang mukmin mengingat Allah dan taat menjalankan perintah Allah. Pernyataan Ibnu Abbas tersebut diungkapkan dengan istilah “merajam setan.” Maksud ini tentunya sesuai jika mengingat sejarah awal mula turunnya perintah melempar jumrah.
Bukti yang membenarkan kesimpulan ini, diantaranya dalam Surat Al-Baqarah ayat 203:
Artinya: “Dan berzikirlah kepada Allah pada hari yang telah ditentukan jumlahnya. Barang siapa mempercepat (meninggalkan Mina) setelah dua hari, maka tidak ada dosa baginya. Dan barang siapa mengakhirkannya tidak ada dosa (pula) baginya, (yakni) bagi orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 203).
Maksud berdzikir pada hari-hari yang terbilang dalam ayat di atas adalah melempar jumrah, dimana dalam praktik melempar jumrah, jamaah haji akan melakukannya pada tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah, tetapi boleh juga menyelesaikannya pada 12 Dzulhijja, sedangkan tujuan berdzikir diketahui tidak lain merupakan salah satu cara untuk mengingat Allah SWT.
Ini juga sesuai dengan sabda Rasulullah sebuah hadist, yang artinya: “Sesungguhnya, diadakannya thawaf di Ka’bah, sa’i antara Shafa dan Marwa dan melempar jumrah, adalah untuk mengingat Allah.” (HR. Abu Daud no. 1888. Di hasankan oleh Al-Arnauth).
Syaikh Ibnu‘ Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa ini juga menjadi alasan orang-orang bertakbir di setiap lemparan dan tidak mengucapkan “A‘uudzubillahi minasy syaithanir rajiim” (kuberlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk), melainkan mereka justru bertakbir, “Allahu akbar“.
Jadi,makna sesungguhnya disyariatkan melempar jumrah adalah untuk mengingat Allah. Mengingat Allah diantaranya dengan senantiasa melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Bukan sebagaimana yang diyakini sebagian orang bahwa melempar jumrah dalam rangka melempari setan. (Vn)