Ada Lagi, Fenomena “Quiet Firing” Kultur Toksik di Dunia Kerja

Jakarta, GPriority.com – Setelah media sosial ramai membicarakan fenomena quit quitting, sekarang muncul fenomena quiet firing yang juga masih berkaitan dengan dunia kerja.

Quiet firing merupakan salah satu kultur toksik di dunia kerja yang membuat karyawannya berkeinginan untuk resign.

Meski bukan sesuatu yang baru di dunia kerja, akan tetapi istilah quiet firing menjadi tren seiring kasus-kasus terkait fenomena tersebut bermunculan.

Namun, baik quit qutting maupun quiet firing menunjukkan adanya iklim kerja yang tidak sehat. Quit quitting istilah yang muncul sebagai perlawanan terhadap hustle culture atau bekerja tanpa henti dengan waktu istirahat minim.

Penganut quit quitting memilih untuk bekerja seperlunya sesuai dengan job desk dan jadwal kerja, menghindar dari lembur atau melakukan pekerjaan di luar jam kantor dan komitmen lebih lainnya.

Sementara itu quiet firing merupakan istilah yang merujuk pada fenomena dimana seorang pekerja dipecat secara diam-diam oleh atasannya. Quiet firing juga menjadi istilah atas sikap atasan yang berusaha memecat karyawannya tanpa harus melakukan pemecatan.

Quiet firing terjadi ketika atasan memperlakukan karyawan secara kurang baik yang membuat mereka ingin mengundurkan diri.

Cara tersebut merupakan salah satu trik atasan untuk memecat karyawannya secara halus, yakni dengan membuat pihak pekerja merasa tidak cukup kompeten pada pekerjaannya.

Selain itu, pihak karyawan juga dibuat merasa tersisih dari pekerjaan kantor sehingga mereka merasa tidak betah dan ingin keluar dari pekerjaannya tersebut.

Perilaku lainnya yang bisa menjadi indikasi quiet firing adalah mengabaikan permintaan promosi dan kenaikan upah, memberikan beban kerja berlebih sehingga karyawan tidak mampu mengaturnya atau menghilangkan peluang jenjang karir.

Meski demikian, tidak semua penghilangan bentuk promosi atau perubahan alur kerja bisa dikatakan sebagai pemecatan diam-diam.

Namun jika terdapat pola-pola yang jelas pada contoh perilaku tersebut, mungkin saja karyawan memang dipaksa untuk resign secara halus.

Berikut beberapa tanda-tanda seseorang mengalami quiet firing dari atasan:
1.Tidak ada informasi kenaikan pangkat dan gaji dari atasan
2.Atasan menghindari obrolan kerja dengan karyawannya,
3.Atasan tidak memberi kesempatan untuk mengembangkan karir.
4.Terjadi marginalisasi oleh atasan kepada karyawan melalui perlakukan yang berbeda.

Budaya seperti quiet firing ini bisa disebabkan oleh beberapa faktor. Namun yang paling umum biasanya karena pihak perusahaan ingin memecat karyawannya tanpa harus membayar pesangon.

Seperti diketahui, karyawan yang mundur dengan sendirinya dianggap telah sepakat memutus kontrak kerja dan perusahaan tidak perlu membayar apapun kepada mereka.

Fenomena quiet firing merupakan tren toksik di kalangan pekerja kantoran. Hal ini menunjukkan manajemen yang buruk serta tidak mampu menyelesaikan masalah kerja dengan karyawan.

Selain itu, cara ini dianggap sama sekali tidak mengatasi masalah. Quiet firing disebut hanya membuat hidup seorang karyawan sengsara tapi tidak mengatasi permasalahan utama yang terletak pada manajemen buruk.

Pemecatan diam-diam juga memiliki konsekuensi berupa pertanggungjawaban pada asosiasi terkait jika ketahuan. Hal ini bisa dianggap sebagai salah satu bentuk penganiayaan karena membuat hidup karyawan menderita di tempat kerja.

Oleh karena itu, bagi karyawan yang secara sengaja diperlakukan tidak adil oleh atasannya disarankan untuk berani mengkomunikasikan secara langsung dan berdiskusi mengenai pengalamannya tersebut. (Vn)