Jakarta,GPriority.com-Brazil dikenal sebagai rajanya ayam potong, namun bicara rasa dan keunggulan Indonesia juaranya. Untuk itulah Singapura meminta dikirim 1.000 ton ayam.
Pemerintah Singapura memberikan tawaran impor itu, setelah Pemerintah Malaysia memutuskan menghentikan impor bahan pangan tertentu, termasuk ayam beku, ke semua destinasi sejak Juni 2022. Alasannya, untuk mengantisipasi krisis pangan global.
Indeks harga pangan di Malaysia juga merangkak naik. Demi menjaga kemungkinan terburuk, Malaysia menyetop untuk sementara waktu ekspor ayam (hidup atau ayam potong), produk makanan olahan dari terigu, minyak kelapa, dan sejumlah sayuran.
Singapura membutuhkan 3,6–4 juta ekor unggas (utamanya ayam dan bebek) tiap bulannya. Dari jumlah itu, ada sekitar 30 persen (2.000 ton) yang diimpor dari Malaysia dalam bentuk ayam hidup yang dikirim langsung ke rumah pemotongan hewan di Singapura. Selebihnya, negeri berlambang Singa itu mengimpor ayam beku dari Amerika Serikat dan Brazil. Toh, atas nama prioritas pasokan dalam negeri, Malaysia akhirnya menghentikan ekspor.
Kesempatan itu pun diambil Indonesia. Dari hasil lelang, ada tiga perusahaan yang terpilih. Dua di antaranya adalah anak perusahaan CPIN, dan satu lainnya adalah anak perusahaan Japfa Comfeed, yang merupakan industri pakan ternak dan pembudi daya ayam juga. Namun, karena tidak berpengalaman ekspor ayam hidup, maka yang ditawarkan ialah ayam potong segar, ukuran sekitar 2 kg, yang cocok untuk hidangan nasi hainan khas Singapura.
“Semoga ekspor unggas (Indonesia) ke Singapura akan berkelanjutan dan terus tumbuh pada tahun-tahun mendatang,” kata Presiden Komisaris Charoen Pokphand Indonesia Hadi Gunawan Tjoe, pada acara seremonial ekspor perdana itu.
Indonesia sendiri ialah produsen besar untuk telur dan daging ayam. Pada 2021, diperkirakan produksi telur mencapai 5,1 juta ton serta daging ayam 3,4 juta ton. Swasembada telur dan daging ayam memang sudah tercapai. Namun, Indonesia belum menjadi eksportir kuat dalam perunggasan. Ekspor ayam Indonesia tercatat hanya dalam jumlah kecil ke Papua Nugini dan Timor Leste.
Dengan pasar yang terbuka, mengikuti ketentuan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), persaingan di arena daging ayam memang ketat dan sengit. Harga pasar mudah terkoreksi. Biaya produksi pada produksi telur dan daging ayam di Indonesia relatif lebih tinggi dibanding di Thailand, Malaysia, atau Vietnam. Tak pelak, banyak peternak UKM yang tumbang dalam persaingan.
Sekitar 20 tahun silam, Indonesia sudah mulai merintis sebagai eksportir ayam, utamanya ke Timur Tengah. Namun, merebaknya Flu Burung alias Avian Influenza (AI) pada 2003 tak ayal membuat Indonesia kehilangan peluang. Indonesia termasuk yang terpapar virus itu, bersama sejumlah negara Asia lain, seperti Tiongkok, Kamboja, Thailand, Bangladesh, India, dan sejumlah lainnya. Paparan AI dari subtipe H5N1 itu membuat ekspor unggas terhenti. Ayam Amerika dan Brazil pun merajai pasar dunia.
Wabah H5N1 itu baru dinyatakan usai pada 2007. Namun, untuk bangkit tak mudah. Harga pakan unggas di Indonesia tergolong mahal, karena banyak mengandung komponen impor, sementara bahan baku lokal seperti jagung, misalnya, harganya relatif lebih mahal dibandingkan harga di pasar internasional. Apa boleh buat, peternak unggas Indonesia hanya bisa mencukupi kebutuhan pasar domestik. Kalau ada ekspor dalam jumlah yang relatif kecil hanya ke Timur Tengah, Papua Nugini dan Timor Leste.
Maka, peluang ekspor ke Singapura adalah kesempatan yang berharga sebagai uji coba memperluas pasar ekspor. Dari sisi harga, ayam Indonesia sedikit lebih mahal dari ayam beku dari Brazil. Hanya saja, dari sisi kualitas lebih unggul.
Persaingan akan lebih ketat lagi, karena indeks harga daging ayam di Malaysia sudah bergerak ke arah yang normal. Malaysia pun mulai mengendorkan larangan ekspor ayamnya ke Singapura. Jadi, keputusan ada di tangan konsumen Singapura.(Hs.Foto.dok.Kementan)